Positif

Tanggal 9 Februari lalu, saya dan beberapa orang tim internal dinyatakan positif oleh salah satu lab. Melihat hasilnya, saya merasa tidak yakin dan tidak puas karena badan saya rasanya sehat, tidak demam, tidak juga pegal/linu, pokoknya semua gejala tidak saya rasakan. Hal ini membuat saya langsung mengajak tim saya untuk mencari opsi lain; test di 1 lab lain pada malam itu juga dan 2 rumah sakit swasta di Jakarta esoknya.

Hasilnya, saya dinyatakan negatif dari 3 alternatif itu. Tapi di malam saat saya dinyatakan positif, saya sudah masuk ke dalam daftar positif Kemenkes sehingga status di aplikasi Peduli Lindungi pun otomatis berubah menjadi hitam.

Pada akhirnya, joke saya yang terinspirasi dari konten di Tiktok ketika belum pernah terpapar covid, “saya pengen terus jadi favorit Tuhan” ternyata salah selama ini. Bukan hanya menjadi favorit, tapi saya ternyata sangat disayang Tuhan.

Status positif Covid ini membuat saya jadi mengerti sekali bagaimana rasanya mental dihantam sehingga membuat down sekali. Bukan hanya terjadi di saya saja, tapi juga di tim saya. Kami sama-sama saling menguatkan dan yakin bahwa this too shall pass.

Malam itu juga, saya memutuskan tetap melakukan isolasi mandiri di rumah dan akan melakukan test ulang sesuai dengan prosedur. Begitu juga dengan aktivitas kantor, semua dilakukan secara WFH. Minimal saya tidak ikut menyebarkan virus ini kalau memang saya positif.

Dan hari ini saya melakukan test PCR kembali dan hasilnya negative. Status saya di Peduli Lindungi pun sudah kembali hijau. Yay!. Tapi saya memutuskan masih meminimalisir melakukan kegiatan diluar rumah karena masih ada ketakutan terpapar kembali.

Saya mendoakan semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Amin.

Jalan Pintas Menuju Mimpi (Fana)

Berlari dan terus berlari tanpa tahu batas lelah bahkan lelahnya batin tidak lagi kamu rasakan hingga membuat kamu (mungkin) lupa bagaimana itu rasanya berhenti sejenak hanya untuk sekedar bernapas, rehat, dan sekedar menikmati (apapun) keadaan hidupmu dan dirimu sendiri. Berlari dan terus berlari mengejar cahaya yang kamu selalu pikir itu adalah tujuan utamamu, namun ternyata kamu lupa kalau kita sering silau karena cahaya sehingga tidak dapat melihat dengan jelas di depan sana atau bahkan melihat diri sendiri.

Berlari dan terus berlari sampai kamu tidak sadar, fisikmu lelah, kaki itu butuh istirahat, otakmu juga butuh asupan oksigen masuk, dan hati kamu juga butuh disentuh dengan kasih karena ia sudah mulai lupa bagaimana rasanya dicintai lagi. Bukan oleh orang lain, namun oleh kamu, dirimu sendiri. Hatimu hanya butuh kamu, butuh kamu isi kembali dengan canda tawamu dan cintamu sampai akhirnya kembali sadar siapa identitasmu.

Ego mengalahkan kasih, ego akan selalu menang di dalam hidupmu. Tanpa sadar, ego bahkan  sudah merubah makna cinta bukan lagi kasih tanpa kamu sadari. Menjalani hidup di dunia fantasi hasil ciptaan ego dirimu membuat kamu yakin bahwa ini jalan terbaik yang seharusnya kamu dan belahan hatimu jalani. Namun, apa iya ini akan jadi contoh yang patut ditiru untuk masa depan?

Bagaimana sebuah kehidupan ideal dengan landasan ego dapat tercipta ketika hati dan dirimu saja sebetulnya sudah lelah menjalaninya?

Bagaimana bisa menciptakan kebahagiaan kemudian menularkannya untuk menjadi contoh bekal nantinya ketika dijalankan dengan memakai topeng? 

Apakah ini definisi mencintai diri sendiri menurutmu saat ini? Apa kamu tidak capek menjalani hidup seperti ini? Apa kamu sanggup terus berpura-pura menjadi orang lain sedangkan kamu ingin menjadi contoh dan impact buat belahan hatimu?

Siapa identitas dirimu saat ini?

Berlari dan terus berlari, sampai kamu bahkan tidak berani menghadapi kenyataan, tidak berani menghadapi kegagalan akibat kesalahan dirimu sendiri, sampai kamu akhirnya akan mengerti semua yang aku pernah katakan “terlambat itu ada”. Terlambat itu nyata.

Berlari dan terus berlari, dari ketakutan dan trauma masa lalu yang kamu pikir sudah kamu hadapi dan berdamai, lalu luka itu sembuh. Luka itu sesungguhnya masih ada dan bertambah besar, sangat jelas terlihat dari dirimu. Luka itu terlalu menyakitkan untuk dirimu obati, sehingga kamu pilih diamkan, dan sekarang sedang kamu tularkan ke belahan hatimu tanpa kamu sadari bisa membusuk sampai kamu tua nanti apabila tidak kamu sembuhkan.

Berlari dan terus berlari, tanpa henti untuk (kamu pikir) terus mengejar mimpimu.

Kamu hanya sedang berlari tanpa tujuan dan berputar disitu-situ saja, hanya tempat dan waktu yang berbeda, namun hasil akhirnya tidak membuatmu stabil, terlihat eksponensial seperti yang selalu kamu katakan ke dirimu dan orang-orang yang selalu kamu beri motivasi, kemudian semua hasil akhir akan hilang begitu saja karena ulah diri sendiri.

Sampai akhirnya kamu sadar, melihat tanggal, hari, umurmu bertambah terus setiap tahun, namun terlalu banyak waktu terbuang sia-sia untuk kebahagiaan semu yang kamu jalani.

Berhentilah sejenak, rasakan setiap lelahmu, hadapi ketakutanmu, dan jujurlah pada hatimu. Karena hati kamu yang baik terlalu sayang untuk disia-sia-kan demi ego kamu yang bahkan tidak tahu makna menyayangi dengan tulus tanpa batas.

Semoga doa baik dari orang-orang yang pernah ada di dunia ini dan tulus menyayangi kamu bisa membuatmu akhirnya mau sedikit meredam ego agar membuka hatimu untuk lebih jujur yang akhirnya membuatmu mau untuk menerima kasih dari ketulusan dan tetap menjadi dirimu sendiri dengan identitas kamu.

Xoxo

Kamu

Tanggal 20 September 2020 pukul 6.30, pagi itu menjadi perjalanan bisnis ke dua kalinya bagi saya ke pulau di seberang pulau Jawa. Salah satu tugas di pekerjaan saya adalah mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah saya kunjungin. Hal yang tidak pernah saya bayangkan 9 tahun lalu.

Di dalam pesawat menuju pulau Kalimantan, entah di ketinggian berapa kaki diatas laut membuat saya teringat perbincangan hangat penuh kasih 2 tahun lalu antara saya dengan kamu.

Kamu, yang paling bisa membuat saya merasa tertantang tanpa perlu menantang.

“Tahun depan, kamu harus bisa punya uang hasil keuntungan diangka milyar ya!”, ucapnya sambil tersenyum lebar ketika saya menceritakan hasil perkenalan saya pertama kali di meeting hari ini.

“Aku nulis billing nilainya puluhan juta aja deg-deg-an banget, ratusan juta ga pede, apalagi milyaran? Ngebayangin nulis buat diri aku sendiri ga berani…”, ucapku polos dengan nada pelan.

“Pasti bisa kalau kamu mah”, sambutnya, kemudian dengan nada meledek ia melanjutkan kembali ucapannya, “dulu aja aku pernah bilang kan depan anak-anak, tim yang terakhir tersisa ini gue yakin orang-orang terbaik karena punya trust dan sense of belonging yang tinggi. Dan diantara tim terbaik ini gue yakin Lia yang akan paling jadi! Gila, from nothing men… hahahaha”, ia tertawa keras sekali. Saya tau kamu tidak sedang meledek saya, ada rasa bangga terpancar di mata kamu yang selalu bisa membuat saya lebih percaya diri kembali beberapa tahun ini ketika habis berkeluh kesah mengenai pekerjaan dengan kamu.

Tidak berapa lama setelahnya keadaan saya dan kamu berubah menjadi 2 kutub yang tidak lagi saling melekat. Masing-masing menjalani prosesnya sendiri, tanpa ada lagi support sistem mutualisme satu sama lain. Di bulan ke 4 tanpanya, saya berhasil menulis surat penawaran dengan angka penagihan milyaran! Tanpa disadari perkataan kamu terpatri di pikiran, hati, dan alam bawah sadar saya sehingga ikutan menarik alam semesta ini untuk bekerja sama memunculkan rasa keberanian didalam diri saya untuk akhirnya bisa merealisasikan tantangan kamu. Terima kasih sudah mau percaya ke diri saya yang saya sendiri saja (pada saat itu) masih belum percaya kalau diri saya mempunyai kemampuannya.

Kamu, yang selalu memuji ketika saya memilih merugi.

Integritas dan value adalah modal utama saya sejak dari awal bekerja sampai akhirnya masuk ke dunia bisnis saat ini. Bagi saya yang hanya bermodalkan tekad, keyakinan, dan motivasi yang benar sangat percaya bahwa integritas dan value amat lah penting untuk menjadi bagian dari identitas diri ketika menjalani kehidupan sehari-hari guna mendapatkan akselarasi diri dalam hidup. Secara teori terlihat mudah namun tidak ketika praktek di dunia nyata. Keserakahan menjadi asal muasal manusia digelapkan hatinya untuk kemudian melakukan berbagai cara mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dengan minimal bekerja.

Namun lagi lagi kamu memberikan saya keyakinan bahwa value dan integritas diri saya yang nantinya akan membawa semua hasilnya secara nyata. Dan pelan-pelan namun pasti saya dapat melihat dan merasakan semua yang kamu ajarkan sejak dari hampir 9 tahun lalu.

Kamu, yang selalu percaya bahkan ketika saya tak berdaya.

Di tahun 2012 ketika bekerja pada suatu perusahaan yang bahkan saya sendiri tidak tahu apakah industri ini cocok atau tidak dengan saya (?) namun kamu selalu meyakinkan bahwa segala hal bisa dipelajari.

Kamu selalu bilang, “bisa engga bisa cuman soal waktu!”.

Beberapa tahun kemudian, saya menambahkan, “Bukan hanya waktu, tapi juga harus ada kemauan. Karena aku mau maju makanya aku mau belajar”. Dan kamu mengamini sembari tersenyum.

Kamu, yang memilih egois sehingga tidak realistis.

Rasa tidak pernah cukup dan ketidakbahagiaan membuatmu butuh sekali validasi tanpa pernah mau memikirkan perasaan orang lain. Ego yang besar membuatmu menjadi egois tanpa pernah berpikir bahwa ada orang orang yang peduli namun tidak kamu diindahkan.

Apa yang sebetulnya kamu cari? Pengakuan dari dia yang pernah mengecilkan dan menolak kamu? Tahukah kamu kalau dia tidak tulus kepadamu?

Ah sudahlah, ketika rasa amarahmu lebih penting daripada masa depanmu. Sungguh sangat sayang sekali waktu menjadi sia-sia terbuang serta kemunduran mentalitas hanya karena ego dan emosi.

Kamu yang tersayang, namun memilih pergi untuk dikenang.

Aku terima dan sadar bahwa takdir aku dan kamu mungkin hanya sampai kemarin. Terima kasih untuk semua pembelajaran yang sudah pernah kamu ajarkan, terima kasih kamu pernah hadir dalam hidupku. Aku berdoa dimanapun kamu berada, kamu akan selalu bahagia dan dalam lindungan Tuhan.

Cheers,
RA

Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada

Apakah kita semua benar-benar tulus
Menyembah pada-Nya?
Atau mungkin kita hanya
Takut pada neraka
Dan inginkan surga?

Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau bersujud kepada-Nya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut nama-Nya?

……………………….

Mungkin banyak yang sudah mendengarkan lagu diatas. Lagu ini pernah dibawakan oleh alm. Chrisye dan Ahmad Dhani, cukup populer di tahunnya lagu ini rilis. Lagu ini membuat perenungan di benak saya saat ini, bagaimana jika hidup ini tidak pernah ada surga dan neraka? Apakah manusia akan lebih jadi lebih jujur tanpa takut dicap pendosa dan bersalah sehingga neraka tempat untuk para pendosa? Atau malah sebaliknya, semua manusia hidup dalam kejujuran karena tidak lagi takut akan dosa?

Banyak orang memilih berlindung dengan kedok agama ketika melakukan suatu tindakan tidak terpuji agar oleh lingkungan keluarga dan sekitarnya dinilai baik, harmonis, atau bahkan terhormat karena agamis. Banyak orang pun memilih berkedok dengan tampilan agamis namun kelakuannya bahkan tidak lebih baik dari seorang pendosa demi mendapatkan keuntungan untuk memperkaya ego dan kehidupan pribadinya. 

Lalu dimana kah landasan surga dan neraka ketika parameternya hanya dari nilai pandangan sebuah gengsi di mata manusia lainnya?

Lantas apakah seseorang yang menjalani quantity ibadahnya lebih banyak dan menggunakan pakaian sesuai anjuran agamanya boleh menilai bahkan menghakimi seseorang yang tidak sama dengannya?

Saya bisa dinilai oleh seseorang besar tanpa didikan agamis hanya karena saya tidak menggunakan hijab, apakah adil menilai saya tidak agamis hanya karena saya memilih tidak mengumbar urusan ibadah saya ke ranah publik?

Seorang anak yang tidak berani memberi tahu ibunya betapa iya sangat ketakutan ketika ibunya sudah marah yang menyebabkan ia trauma sampai besar tanpa disadarinya karena sudah ada doktrinisasi “kalau melawan ibu sama dengan durhaka”, sedangkan cara ibunya memarahi pun sudah keluar dari batasan yang agama anjurkan karena menghina dan menyakiti fisik sang anak, apakah kemudian boleh hal ini dibenarkan sebagai cara mendidik sesuai dengan ajaran agamanya?

Apakah si anak akan jadi berani lebih jujur ke dirinya dan ibunya bahwa ia sangat ketakutan dan menyisakan luka yang dalam di hatinya jika surga dan neraka tak pernah ada?

Dan hari ini puncak kemarahan saya ketika melihat berita di media online mengenai pencabulan oleh seorang pimpinan pondok pesantrennya terhadap 6 orang santriwatinya. Ini biadab, bayangkan seorang lelaki memerkosa anak dibawah umur dengan doktrin menyimpang bahwa ini sesuai anjuran agama sehingga para korban ketakutan untuk melawan hanya karena laki-laki biadab ini sosok yang mereka diajarkannya harus dipatuhi dan hormati.

Sebagai seorang Ibu, saat membaca berita ini saya amat sangat marah dan dalam benak saya bertanya, lalu ketika pimpinan pondok pesantren bahkan menjadikan agama sebagai senjata untuk merusak masa depan seorang anak perempuan lantas dimana andil masyarakat disana dalam mengawasi dan para orang tua murid ini? Apa karena hanya tampilannya pondok pesantren lalu mereka main menyerahkan anak-anaknya dengan alasan menuntut ilmu?. Atau, apakah boleh seorang anak didalam sebuah rumah menerima penyiksaan fisik maupun verbal oleh ibunya? Hanya karena itu yang melakukan ibunya yang melahirkannya dan secara agama wajib mereka hormati dan berbakti dengan tidak boleh melawan dengan alasan ibunya sedang mendidik anak-anaknya. Apa tidak bisa mendadak dengan cara yang baik?

Ahhh sudahlah, berbagai perspective akan menjawab dengan pembenaran mereka sendiri hanya karena tidak berani mengakui kelalaian dan kesalahannya.

Ya, saya mengerti sekali setiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam membesarkan anak-anaknya. Tapi apapun caranya buat saya doktrinisasi tanpa objektivitas tidak akan pernah membuat seorang anak siap menghadapi realita kehidupan. Sedangkan idealnya orang tua harus mempersiapkan seorang anak siap menghadapi dunia luar yang luas bagaikan hutan belantara dengan beragam pengalamannya dan bermacam-macam karakter manusia didalamnya,

Sampai pada akhirnya, bagaimana cara setiap orang mencari surga dan nerakanya bermacam-macam, ada yang memilih dengan cara agamis, ada yang berlandaskan humanisme. Menurut saya, kita semua mempunyai kebebasan penuh dalam memilih cara hidup yang cocok dengan masing-masing individu selama tidak merugikan siapapun.

Wayne Dyer famously wrote, “When given the choice between being right and being kind, choose kind.” We all struggle with the insecurities of our egos, with the insecurity of being wrong. And a threatened ego will almost always lash out.

Cheers,
RA

Cerita Kepada Waktu

Memilih hidup tanpa pasangan merupakan hal yang tidak mudah bagi sebagian orang. Banyak manusia bermulut usil baik dari lingkungan sosial sampai lingkup keluarga besar kerap kali melontarkan pertanyaan-pertanyaan bermotivasikan memenuhi ego rasa penasaran mereka saja, seperti;
“Kok sendiri aja, mana pacarnya?”,
“Ya ampun masih aja jalan sendirian, kalah sama bus aja punya gandengan, emang lo nggak ada niatan cari cowok?”, masih banyak lagi versi yang tidak perlu dijabarkan. Belum lagi rasa sepi kerap datang menghampiri dikala semua rekan-rekan sibuk dengan prioritas masing-masing. Memang tidak mudah menjadi single ketika hidup bermasyarakat.

Beberapa tahun lalu saya pernah berada di fase ketakutan hidup tanpa pasangan, muncul bayangan apabila pernikahan saya gagal atau pasangan saya dipanggil terlebih dahulu oleh sang Pencipta, apa yang harus saya lakukan? Membayangkan sendirian mengurus semua hal, menanggung secara finansial semua kewajiban rumah dan anak, tidak adanya sosok pelindung dan berkeluh kesah, membuat saya berpikir berulang kali untuk memilih apakah harus menjalani kehidupan seorang diri tanpa pasangan atau tetap bersama pasangan meskipun keadaan tidak kondusif (setiap harinya hanya membuat kami tidak bahagia dengan hidup berdampingan hanya untuk saling menyakiti kemudian anak menjadi korban sebagai saksi dari chaos suatu rumah tangga)

“Feminism…is not ‘women as victims’ but women refusing to be victims.” ― Gloria Steinem, The Trouble With Rich Women

“Tapi dia brengsek, buktinya pergi begitu saja dengan perempuan lain ninggalin istri dan anaknya?”, ucap seorang wanita sambil meneteskan air mata, kemudian bibirnya kembali melanjutkan cerita jelek mengenai suaminya sambil tak lupa menyelipkan bermacam umpatan-umpatan kasar dan sumpah serapah.

Pertanyaan saya simpel sekali, dulu pas pacaran sampai menikah bagaimana? Bagaimana awal mula ini semua sampai akhirnya bisa ditinggalkan kalau dulu dia bahkan ngajak kamu menikah? Apa selama ini kamu sudah memperlakukan dia dengan baik dan menghormati dia?

Banyak orang selalu lebih dahulu sibuk menyalahkan orang lain atau pihak ketiga dari setiap kegagalan dalam suatu hubungan pacaran ataupun rumah tangga ketika pasangannya pergi dan memilih hidup berbeda atau bahkan memilih hidup bersama orang lain. Pihak yang ditinggalkan selalu bertingkah play a victim di depan semua orang, narasi yang dibangun istri/suaminya brengsek karena lebih memilih orang lain daripada dia dan anak mereka, atau memilih kabur dan melepas tanggung jawabnya daripada hidup satu atap dengan dia dan anak mereka. Tapi apakah pernah satu kali saja mereka introspeksi, apakah diri mereka sudah baik dan benar memperlakukan pasangannya?

Play a victim menjadi cara menutupi kekurangan serta malu atas kegagalannya dengan bertindak sebagai sosok si lemah yang tertindas, sembari berparodi membawa anak yang tanpa dosa dijadikan objek belas kasihan agar publik menjadi terbawa drama cerita karangan sepihaknya, mencari pembenaran atas asumsinya tanpa cerita latar belakang terlebih dahulu, semua hal jelek diumbar seperti lupa bahwa ia pernah hidup dari uang hasil jerih payah pasangannya, dan herannya lingkungan sosial senang sekali mengonsumsi topik ini tanpa memfilter dan berpikir dengan logika bahwa ini baru cerita dari 1 pihak sedangkan rumah tangga itu 2 orang, jadi seharusnya kegagalan pasti ada andil dari keduanya.

Ya, tanpa disadari lakon play a victim di depan umum itu sebenarnya sedang membuka bobrok dan lemahnya mental diri sendiri. Tanpa disadari ia sedang membongkar selama ini tidak pernah mau introspeksi sehingga value dalam dirinya tidak ada peningkatan. Namun apalah arti value ketika ego sudah mengendalikan semua akal sehat?

Bagi orang yang gemar play a victim, biasanya pasangan atau seseorang bagi mereka adalah hak milik. Ketika merasa memiliki seseorang maka mempunyai kontrol terhadap manusia lain hanya karena mempunyai selembar surat pernikahan yang sah dimata negara, kemudian anak dijadikan senjata untuk mengikat bahkan memeras seseorang (ini sungguh kejam namun banyak yang memakai anak sebagai alat meminta uang), waktunya kemudian disia-siakan hanya untuk membangun drama dan menyebarkan kebenciannya supaya orang-orang jadi tahu masalah rumah tangganya, sibuk menyalahkan orang lain serta hidup, tanpa mau berkaca mengapa ia bahkan tidak dapat mempertahankan ini semua?

Kenarsisan membuat seseorang tidak sadar bahwa akar masalah ini ada pada dirinya. Seseorang yang narsis selalu merasa sudah melakukan yang terbaik bagi pasangan atau orang lain tanpa pernah mau intropeksi dan jujur ke diri sendiri apa iya dia sudah melakukan yang terbaik? Atau sekedar mencoba berdiri di kaki orang lain agar mengerti bagaimana rasanya di posisi orang itu pun belum tentu mau dia lakukan. Mereka hanya fokus kepada dirinya yang (mereka pikir) paling berusaha di hubungan ini.

Hal ini sebetulnya banyak terjadi di berbagai kasus bukan hanya dalam suatu hubungan percintaan tapi juga dalam pertemanan, keluarga, bisnis, bermasyarakat. Terus mengakar sampai akhirnya jiwa supportive tergerus dengan jiwa competitive akibat ego diri sendiri yang butuh pengakuan berasaskan dengki dan iri hati yang tidak ingin kalah dengan orang lain tanpa peduli bagaimana proses perjuangan seseorang mencapai impiannya

Jiwa supportive hanya dimiliki oleh orang-orang dengan mental kuat dan ingin maju.

Dimulai dengan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri, masa lalu, setiap fase dalam hidup yang sudah dilewati, mengakui apa kekurangan/kelemahan diri, sampai akhirnya menghadapi diri sendiri untuk melawan semua ketakutan dalam diri. Tidak mudah memang, saya butuh bertahun-tahun sampai akhirnya berdamai dengan semua hal kepahitan. Berdamai dengan masa lalu membuat saya sadar bahwa selama ini saya lah yang menghambat karir saya, personal life, sampai eksplorasi diri. Seketika saja saya mengalami akselerasi dalam hidup tanpa saya duga. Saya tidak lagi malu atau takut berbicara apa adanya mengenai diri saya dan apa yang saya pernah alami sesimpel; saya ingin orang lain dapat belajar dari pengalaman saya agar percaya bahwa teruslah bermimpi yang tinggi meskipun sepahit apapun hidup yang kita alami karena mimpi itu gratis dan jangan pernah iri dengan hidup orang lain karena rejeki itu sudah ada yang atur serta siap atau tidaknya diri kita menerima itu semua.

Suportif bukan hanya dalam pertandingan atau pun terhadap orang lain, kita juga harus suportif terhadap diri kita sendiri. Ketika diri sendiri yang menghambat kesuksesan diri sendiri maka bertanyalah ke diri sendiri “apakah diri kita sendiri yang menghambat ini semua?”, karena kita hanya bisa mengontrol diri kita sendiri jadi diri kita lah yang dapat merubah nasib kita sendiri. Jangan takut mengakui kesalahan ataupun kekalahan karena kalau kita tidak pernah salah atau kalah maka kita tidak akan pernah belajar.

Sudahkah kamu introspeksi hari ini?

Cheers,
RA

Setahun Kemarin

Tahun ini sungguh berbeda dan mungkin yang akan tidak dilupakan oleh kita semua; Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 1441 H dilalui umat muslim dengan suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19.
Sejak 18 maret 2020, saya dan tim mengikuti imbauan Presiden Joko Widodo untuk belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah. Tanpa terasa sudah hampir bulan ke-3 kami semua bekerja dengan sistem kerja remote setiap harinya, namun tak disangka load pekerjaan dari client jadi lebih padat daripada yang saya dan tim duga! Bahkan nyaris setiap malam kami melalui dengan begadang bersama. Meskipun lelah, saya sangat bersyukur dengan berkat yang tidak putus-putus di situasi seperti ini, alhamdulillah.

Tahun ini spesial dan mempunyai makna tersendiri meski belum genap memasuki pertengahan tahun. Saya banyak berpikir hal-hal ke belakang, merenungi berbagai peristiwa yang sudah berlalu, melakukan introspeksi, terutama satu tahun kemarin baik sisi profesional maupun kehidupan pribadi.

Professional

Sebagai seorang ibu dan juga wiraswasta dengan bidang usaha yang adaptif membuat waktu kerja saya menjadi tak menentu. Ada kalanya saya bisa santai seharian dengan anak dan tidur cepat, namun sering kali saya harus buka laptop sampai jam 4 pagi untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan ketika kemarin sedang padat-padatnya deadline kami, conference call sampai 11 jam nonstop dari jam 10 malam sampai jam 9 pagi! Tidur sekitar 2–3 jam per hari kemudian bangun tidur lanjut buka laptop dan kerja, sorenya urus rumah dan anak, malam kerja lagi sampai sekitar jam 4 atau 7 pagi. WOW!

Menjalani pekerjaan yang disukai dan dinikmati bagi saya menjadi sebuah aktualisasi diri. Tantangan untuk mengeksplor apa yang bisa digali dari diri sendiri untuk dipelajari, didiskusikan, menguji kelayakan, dan menghasilkan suatu karya yang bisa berguna bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sekitar menjadi suatu kepuasaan tersendiri, dan itu cukup bagi saya.

“Aku kayak tenggelam ke dunia lain kalau sedang bekerja. Kerja bikin aku lupa permasalahan yang ada, omongan pahit, atau bahkan sakit hatiku sendiri”, ucap saya ke seseorang yang spesial pada saat itu, satu tahun lalu. Bekerja membuat saya bisa lupa waktu, lupa makan, lupa rasa sakit hati, dan sedih, bahkan ketika sedang di kantor, saya sampai lupa jam pulang, tahunya sudah malam saja dan harus pulang karena anak menunggu di rumah.

Saya selalu mencari tahu dan mengulik hal yang belum saya mengerti sampai saya dapat mengerti. Itu rasanya menyenangkan sekali. Selain itu saya percaya kalau dalam hidup itu: 
1. Terlambat itu ada, jadi  saya tidak mau membuang sia-sia waktu
2. Kita semua dapat tergantikan kalau kita malas! Cepat puas dan mudah nyaman menjadikan timbul rasa malas jadi orang tidak mau terus belajar dan mengikuti tren yang terus berkembang

Dalam satu tahun ke belakang, sudah banyak hal yang berubah di sisi karier. Era reformasi terjadi ditandai perubahan drastis tatanan disertai dengan drama yang melebihi kisah cinta serial Korea tak berkesudahan. Belum lagi teror meresahkan datang silih berganti diikuti ancaman dari oknum-oknum yang kehilangan lahan “kutipannya” akibat kebijakan demokrasi. 

Chaos pun tak dapat dihindari. Bagi mereka, harus ada kambing hitam yang disalahkan dengan membangun narasi propaganda. Saya masih ingat betul hari itu saya terima telepon jam 18.15 dari tim saya bahwa ada info kalau sedang ada narasi yang dibangun untuk menggiring opini bahwa saya berbicara hal tidak benar dengan tujuan menjatuhkan saya dan membuat saya sebagai public enemy. Jawaban saya waktu itu, “Jangan ada satupun respons dari kita. Ini semua  biar gue yang beresin. Thank you untuk infonya”. Nada saya mungkin terdengar tenang saat itu, namun gestur tubuh saya tidak bisa tenang. Tangan saya keringat dingin dan gemetar. Pada saat itu, saya tidak tahu siapa yang bisa dipercaya untuk sekadar bertanya pendapat; saya betul-betul merasa sendiri. Setelah hari itu, setiap malam saya tidur tidak nyenyak; ada berbagai bentuk  “teror” yang datang melalui media sosial maupun nomor pribadi sampai akhirnya klien kami bersama menyadari ketidakberesan ini lalu berinisiatif menyelesaikannya sendiri. Tanpa diduga malah terbongkar sindikat “kejahatan” dan Beliau memilih membasmi sindikat ini di dalam gerbong bisnisnya.

Saya sadar betul sejak awal bahwa bidang usaha yang saya pilih ini penuh dengan risiko dan tidak tahu mana kawan atau lawan. Yang saya tahu dengan pasti adalah bekerja dari hati dengan mempunyai value dan integritas dalam diri tidak akan mendustai hasil. Entah kapan waktunya, tapi ketika waktunya datang, itu berarti kita sudah siap menerima semua hasilnya.
Belajar dari cerita di atas, tidak reaktif dan tetap waras merupakan sikap terbaik untuk menghargai diri kita sendiri.  Tidak mudah memang, terutama waktu itu saya kehilangan personal support yang paling saya butuhkan untuk sekadar pelukan menenangkan. Pada akhirnya, terlihat jelas manusia menjadi dewasa dalam berpikir itu memang pilihan bukan faktor umur apalagi gelar akademis.

Personal

Strength is forgiving people that don’t even feel sorry for their actions. Strength is putting a smile on your face when you want to cry a river. Strength is not hurting those who hurt you. Strength is forgiving others.

Belajar menerima kegagalan dari pilihan diri sendiri tanpa harus play a victim dengan menyalahkan orang lain bukan hal mudah bagi siapa pun. Supportive memang sulit dipahami untuk dimiliki banyak orang ketika memilih tidak mau introspeksi, berkaca ke dalam diri dahulu, dan mengakui kesalahan/ lemahnya diri. 

Satu tahun belakangan ini, saya membuat suatu keputusan  tanpa menyadari kapasitas diri sendiri yang akhirnya mengubah banyak hal dalam kehidupan personal saya. Saya harus merasakan kehilangan pertemanan inner circle saya ketika keadaannya berakhir tidak indah. Circle yang biasanya menjadi tempat saya bertanya atau berkeluh kesah, terutama untuk ranah profesional, sudah tidak lagi ada. Beberapa teman dekat pun menghilang akibat beberapa isu miring yang tidak menarik bagi saya untuk ditanggapi. Merasakan betul-betul apa itu sendirian, emosional yang tidak stabil, clueless menghadapi banyak intrik, dan kembali dihadapkan pada kegagalan di personal life.

Tidak mudah bagi saya untuk satu tahun kemarin. Ditambah lagi dengan adanya perubahan tanggung jawab dan status dalam hidup pribadi dan profesional yang mengharuskan saya untuk tetap stabil meskipun isi hati sedang tidak mendukung. Emosional beserta ego naik turun ketika akhirnya saya merasakan silent treatment dari seseorang yang paling tidak saya harapkan. Setelah itu, berujung dengan saya kembali salah memilih orang karena menuruti ego saya akibat hubungan sebelumnya yang kandas tiba-tiba. Pada akhirnya di awal tahun ini, saya memutuskan untuk menyudahi hubungan yang tidak membuat saya menjadi lebih baik karena saya tidak butuh masalah baru apalagi drama picisan.

Ego yang terlalu besar membuat saya atau mungkin orang lain lupa makna sayang. Acapkali sebagai manusia kita pikir sudah mengerti bagaimana menyayangi seseorang dan memperlakukannya dengan baik. Namun, kita sering lupa bagaimana seharusnya memperlakukan diri sendiri dengan baik sebelum memperlakukan orang lain. Ego sempat menjadi mastermind dari aksi dan reaksi ketika saya (pikir) berusaha maksimal mempertahankan meskipun selalu berulang mendapat silent treatment sebagai solusi penyelesaian yang nyatanya tidak pernah ada kejelasan selesai dalam hubungan ini. Perilaku berpola darinya mudah memancing reaksi titik puncak emosi hingga pada akhirnya, hanya sisi terburuk saya yang keluar tanpa bisa tenang. Ibarat lahir prematur, (secara psikologis) saya menanggung beban terlalu berat dan tidak siap menghadapi ego seseorang yang problematik. 

Berharap kepada seseorang berakhir mengecewakan. Begitupun ketika rasa memiliki ke pasangan mendominasi hanya membuat resah diri sendiri; komunikasi pun bukan lagi menjadi kunci keterbukaan. Dengan sangat cepat, semuanya menjadi rumit karena hal yang paling mendasarnya sudah tidak lagi ada dasarnya. Jangankan untuk mengingat janji yang diucapkan, semua kata-kata manis sudah berubah menjadi argumentasi panas, defensif, dan pada akhirnya, lagi-lagi hanya sisi terburuk yang muncul. Kalau sudah begini, apa masih pantas kata sayang diucapkan? 

Ego manusia menjebak hidup seseorang hingga terpuruk yang tanpa disadari akan berdampak besar ke dirinya, orang sekitarnya, anak, dan banyak hal.  Ego membuat seseorang lupa prioritas dan tujuan dalam hidupnya. 

Pada akhir tahun lalu, datang penyesalan dalam diri sendiri; “kenapa waktu itu mau memilih untuk mempunyai hubungan? Kenapa tidak mau menolak saja karena tidak siap menghadapi konsekuensi dari pilihan?”
Saya menyesal sudah pernah memaksakan menanggung beban konsekuensi yang diri ini belum siap menghadapinya, menyesal karena pernah membolehkan orang yang seenaknya dan tidak jujur masuk kembali kemudian pergi tanpa ada penyelesaian secara gentle, menyesal saya tidak bersikap dewasa hanya jadi menyakiti perasaan orang lain akibat reaksi ego, menyesal karena gagal mengontrol diri, dan menyesal lagi-lagi tidak menghargai diri sendiri karena memberi makan ego yang mendominasi serta memanipulasi dalam bentuk rasa kasihan dan toleransi.

Malam itu membuat saya berserah diri. Sebelumnya, saya sudah belajar menarik diri dan menahan segala carut-marut sehingga hati tidak tenang karena merasa tidak mendapat penyelesaian dengan baik. Akhirnya, malam itu saya belajar membalas dengan kasih tanpa batas melalui doa kebaikan untuknya, ikhlas tanpa butuh mendapatkan apapun yang saya mau, dan memaafkan tanpa butuh pernyataan. Termasuk memaafkan dan kembali belajar menghargai diri sendiri yang sudah salah akibat memilih mendahulukan ego yang lebih besar daripada hati.

Hidup terlalu indah untuk tidak saya nikmati dengan damai. Kegagalan membuka mata saya bahwa hakikatnya saya tetap manusia biasa dengan segala kekurangan, namun tanpa agenda terselubung. Saya selalu yakin value dan integritas harus ada di diri kita selama hidup. Tidak perlu matahari atau bulan untuk memastikan ini siang atau malam. Saya tidak butuh orang lain untuk bersandar maupun dipersalahkan atas tidak bahagianya jalan hidup yang sudah saya pilih sendiri. Saya tidak mau membawa hati yang keras tertutup ego, terutama ke manusia lain, karena saya harus menjadi contoh untuk anak saya. Pada akhirnya, saya tidak perlu sibuk mencari pengakuan di luar sana karena indikator penilaian diri kita sendiri berasal dari diri sendiri sebab hidup soal pilihan sendiri.

Tahun ini sungguh berbeda bagi saya. Setelah istirahat bertahun-tahun dari menulis blog akhirnya saya memutuskan kembali menulis :). Saya pun kembali mempraktekan hobi memasak yang sudah lama saya tinggalkan. Rencana selanjutnya saya akan kembali praktek baking, yay! Tapi, masih browsing oven apa yang efektif untuk pemakaian rumah tangga, ada saran?

Well, saya mulai terbiasa dengan di rumah aja saat ini, bahkan setelah berhasil beradaptasi jadi jauh lebih produktif! Meskipun begitu, saya tetap berdoa semoga pandemi covid-19 ini segera berlalu sehingga semua orang dapat kembali beraktivitas. Untuk yang kemarin mendapatkan cobaan, semoga segera diberikan kebaikan, berkat yang banyak, kebahagiaan, dan yang terpenting sehat selalu untuk kita semua :*

Cheers,
RA