Setahun Kemarin

Tahun ini sungguh berbeda dan mungkin yang akan tidak dilupakan oleh kita semua; Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 1441 H dilalui umat muslim dengan suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19.
Sejak 18 maret 2020, saya dan tim mengikuti imbauan Presiden Joko Widodo untuk belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah. Tanpa terasa sudah hampir bulan ke-3 kami semua bekerja dengan sistem kerja remote setiap harinya, namun tak disangka load pekerjaan dari client jadi lebih padat daripada yang saya dan tim duga! Bahkan nyaris setiap malam kami melalui dengan begadang bersama. Meskipun lelah, saya sangat bersyukur dengan berkat yang tidak putus-putus di situasi seperti ini, alhamdulillah.

Tahun ini spesial dan mempunyai makna tersendiri meski belum genap memasuki pertengahan tahun. Saya banyak berpikir hal-hal ke belakang, merenungi berbagai peristiwa yang sudah berlalu, melakukan introspeksi, terutama satu tahun kemarin baik sisi profesional maupun kehidupan pribadi.

Professional

Sebagai seorang ibu dan juga wiraswasta dengan bidang usaha yang adaptif membuat waktu kerja saya menjadi tak menentu. Ada kalanya saya bisa santai seharian dengan anak dan tidur cepat, namun sering kali saya harus buka laptop sampai jam 4 pagi untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan ketika kemarin sedang padat-padatnya deadline kami, conference call sampai 11 jam nonstop dari jam 10 malam sampai jam 9 pagi! Tidur sekitar 2–3 jam per hari kemudian bangun tidur lanjut buka laptop dan kerja, sorenya urus rumah dan anak, malam kerja lagi sampai sekitar jam 4 atau 7 pagi. WOW!

Menjalani pekerjaan yang disukai dan dinikmati bagi saya menjadi sebuah aktualisasi diri. Tantangan untuk mengeksplor apa yang bisa digali dari diri sendiri untuk dipelajari, didiskusikan, menguji kelayakan, dan menghasilkan suatu karya yang bisa berguna bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sekitar menjadi suatu kepuasaan tersendiri, dan itu cukup bagi saya.

“Aku kayak tenggelam ke dunia lain kalau sedang bekerja. Kerja bikin aku lupa permasalahan yang ada, omongan pahit, atau bahkan sakit hatiku sendiri”, ucap saya ke seseorang yang spesial pada saat itu, satu tahun lalu. Bekerja membuat saya bisa lupa waktu, lupa makan, lupa rasa sakit hati, dan sedih, bahkan ketika sedang di kantor, saya sampai lupa jam pulang, tahunya sudah malam saja dan harus pulang karena anak menunggu di rumah.

Saya selalu mencari tahu dan mengulik hal yang belum saya mengerti sampai saya dapat mengerti. Itu rasanya menyenangkan sekali. Selain itu saya percaya kalau dalam hidup itu: 
1. Terlambat itu ada, jadi  saya tidak mau membuang sia-sia waktu
2. Kita semua dapat tergantikan kalau kita malas! Cepat puas dan mudah nyaman menjadikan timbul rasa malas jadi orang tidak mau terus belajar dan mengikuti tren yang terus berkembang

Dalam satu tahun ke belakang, sudah banyak hal yang berubah di sisi karier. Era reformasi terjadi ditandai perubahan drastis tatanan disertai dengan drama yang melebihi kisah cinta serial Korea tak berkesudahan. Belum lagi teror meresahkan datang silih berganti diikuti ancaman dari oknum-oknum yang kehilangan lahan “kutipannya” akibat kebijakan demokrasi. 

Chaos pun tak dapat dihindari. Bagi mereka, harus ada kambing hitam yang disalahkan dengan membangun narasi propaganda. Saya masih ingat betul hari itu saya terima telepon jam 18.15 dari tim saya bahwa ada info kalau sedang ada narasi yang dibangun untuk menggiring opini bahwa saya berbicara hal tidak benar dengan tujuan menjatuhkan saya dan membuat saya sebagai public enemy. Jawaban saya waktu itu, “Jangan ada satupun respons dari kita. Ini semua  biar gue yang beresin. Thank you untuk infonya”. Nada saya mungkin terdengar tenang saat itu, namun gestur tubuh saya tidak bisa tenang. Tangan saya keringat dingin dan gemetar. Pada saat itu, saya tidak tahu siapa yang bisa dipercaya untuk sekadar bertanya pendapat; saya betul-betul merasa sendiri. Setelah hari itu, setiap malam saya tidur tidak nyenyak; ada berbagai bentuk  “teror” yang datang melalui media sosial maupun nomor pribadi sampai akhirnya klien kami bersama menyadari ketidakberesan ini lalu berinisiatif menyelesaikannya sendiri. Tanpa diduga malah terbongkar sindikat “kejahatan” dan Beliau memilih membasmi sindikat ini di dalam gerbong bisnisnya.

Saya sadar betul sejak awal bahwa bidang usaha yang saya pilih ini penuh dengan risiko dan tidak tahu mana kawan atau lawan. Yang saya tahu dengan pasti adalah bekerja dari hati dengan mempunyai value dan integritas dalam diri tidak akan mendustai hasil. Entah kapan waktunya, tapi ketika waktunya datang, itu berarti kita sudah siap menerima semua hasilnya.
Belajar dari cerita di atas, tidak reaktif dan tetap waras merupakan sikap terbaik untuk menghargai diri kita sendiri.  Tidak mudah memang, terutama waktu itu saya kehilangan personal support yang paling saya butuhkan untuk sekadar pelukan menenangkan. Pada akhirnya, terlihat jelas manusia menjadi dewasa dalam berpikir itu memang pilihan bukan faktor umur apalagi gelar akademis.

Personal

Strength is forgiving people that don’t even feel sorry for their actions. Strength is putting a smile on your face when you want to cry a river. Strength is not hurting those who hurt you. Strength is forgiving others.

Belajar menerima kegagalan dari pilihan diri sendiri tanpa harus play a victim dengan menyalahkan orang lain bukan hal mudah bagi siapa pun. Supportive memang sulit dipahami untuk dimiliki banyak orang ketika memilih tidak mau introspeksi, berkaca ke dalam diri dahulu, dan mengakui kesalahan/ lemahnya diri. 

Satu tahun belakangan ini, saya membuat suatu keputusan  tanpa menyadari kapasitas diri sendiri yang akhirnya mengubah banyak hal dalam kehidupan personal saya. Saya harus merasakan kehilangan pertemanan inner circle saya ketika keadaannya berakhir tidak indah. Circle yang biasanya menjadi tempat saya bertanya atau berkeluh kesah, terutama untuk ranah profesional, sudah tidak lagi ada. Beberapa teman dekat pun menghilang akibat beberapa isu miring yang tidak menarik bagi saya untuk ditanggapi. Merasakan betul-betul apa itu sendirian, emosional yang tidak stabil, clueless menghadapi banyak intrik, dan kembali dihadapkan pada kegagalan di personal life.

Tidak mudah bagi saya untuk satu tahun kemarin. Ditambah lagi dengan adanya perubahan tanggung jawab dan status dalam hidup pribadi dan profesional yang mengharuskan saya untuk tetap stabil meskipun isi hati sedang tidak mendukung. Emosional beserta ego naik turun ketika akhirnya saya merasakan silent treatment dari seseorang yang paling tidak saya harapkan. Setelah itu, berujung dengan saya kembali salah memilih orang karena menuruti ego saya akibat hubungan sebelumnya yang kandas tiba-tiba. Pada akhirnya di awal tahun ini, saya memutuskan untuk menyudahi hubungan yang tidak membuat saya menjadi lebih baik karena saya tidak butuh masalah baru apalagi drama picisan.

Ego yang terlalu besar membuat saya atau mungkin orang lain lupa makna sayang. Acapkali sebagai manusia kita pikir sudah mengerti bagaimana menyayangi seseorang dan memperlakukannya dengan baik. Namun, kita sering lupa bagaimana seharusnya memperlakukan diri sendiri dengan baik sebelum memperlakukan orang lain. Ego sempat menjadi mastermind dari aksi dan reaksi ketika saya (pikir) berusaha maksimal mempertahankan meskipun selalu berulang mendapat silent treatment sebagai solusi penyelesaian yang nyatanya tidak pernah ada kejelasan selesai dalam hubungan ini. Perilaku berpola darinya mudah memancing reaksi titik puncak emosi hingga pada akhirnya, hanya sisi terburuk saya yang keluar tanpa bisa tenang. Ibarat lahir prematur, (secara psikologis) saya menanggung beban terlalu berat dan tidak siap menghadapi ego seseorang yang problematik. 

Berharap kepada seseorang berakhir mengecewakan. Begitupun ketika rasa memiliki ke pasangan mendominasi hanya membuat resah diri sendiri; komunikasi pun bukan lagi menjadi kunci keterbukaan. Dengan sangat cepat, semuanya menjadi rumit karena hal yang paling mendasarnya sudah tidak lagi ada dasarnya. Jangankan untuk mengingat janji yang diucapkan, semua kata-kata manis sudah berubah menjadi argumentasi panas, defensif, dan pada akhirnya, lagi-lagi hanya sisi terburuk yang muncul. Kalau sudah begini, apa masih pantas kata sayang diucapkan? 

Ego manusia menjebak hidup seseorang hingga terpuruk yang tanpa disadari akan berdampak besar ke dirinya, orang sekitarnya, anak, dan banyak hal.  Ego membuat seseorang lupa prioritas dan tujuan dalam hidupnya. 

Pada akhir tahun lalu, datang penyesalan dalam diri sendiri; “kenapa waktu itu mau memilih untuk mempunyai hubungan? Kenapa tidak mau menolak saja karena tidak siap menghadapi konsekuensi dari pilihan?”
Saya menyesal sudah pernah memaksakan menanggung beban konsekuensi yang diri ini belum siap menghadapinya, menyesal karena pernah membolehkan orang yang seenaknya dan tidak jujur masuk kembali kemudian pergi tanpa ada penyelesaian secara gentle, menyesal saya tidak bersikap dewasa hanya jadi menyakiti perasaan orang lain akibat reaksi ego, menyesal karena gagal mengontrol diri, dan menyesal lagi-lagi tidak menghargai diri sendiri karena memberi makan ego yang mendominasi serta memanipulasi dalam bentuk rasa kasihan dan toleransi.

Malam itu membuat saya berserah diri. Sebelumnya, saya sudah belajar menarik diri dan menahan segala carut-marut sehingga hati tidak tenang karena merasa tidak mendapat penyelesaian dengan baik. Akhirnya, malam itu saya belajar membalas dengan kasih tanpa batas melalui doa kebaikan untuknya, ikhlas tanpa butuh mendapatkan apapun yang saya mau, dan memaafkan tanpa butuh pernyataan. Termasuk memaafkan dan kembali belajar menghargai diri sendiri yang sudah salah akibat memilih mendahulukan ego yang lebih besar daripada hati.

Hidup terlalu indah untuk tidak saya nikmati dengan damai. Kegagalan membuka mata saya bahwa hakikatnya saya tetap manusia biasa dengan segala kekurangan, namun tanpa agenda terselubung. Saya selalu yakin value dan integritas harus ada di diri kita selama hidup. Tidak perlu matahari atau bulan untuk memastikan ini siang atau malam. Saya tidak butuh orang lain untuk bersandar maupun dipersalahkan atas tidak bahagianya jalan hidup yang sudah saya pilih sendiri. Saya tidak mau membawa hati yang keras tertutup ego, terutama ke manusia lain, karena saya harus menjadi contoh untuk anak saya. Pada akhirnya, saya tidak perlu sibuk mencari pengakuan di luar sana karena indikator penilaian diri kita sendiri berasal dari diri sendiri sebab hidup soal pilihan sendiri.

Tahun ini sungguh berbeda bagi saya. Setelah istirahat bertahun-tahun dari menulis blog akhirnya saya memutuskan kembali menulis :). Saya pun kembali mempraktekan hobi memasak yang sudah lama saya tinggalkan. Rencana selanjutnya saya akan kembali praktek baking, yay! Tapi, masih browsing oven apa yang efektif untuk pemakaian rumah tangga, ada saran?

Well, saya mulai terbiasa dengan di rumah aja saat ini, bahkan setelah berhasil beradaptasi jadi jauh lebih produktif! Meskipun begitu, saya tetap berdoa semoga pandemi covid-19 ini segera berlalu sehingga semua orang dapat kembali beraktivitas. Untuk yang kemarin mendapatkan cobaan, semoga segera diberikan kebaikan, berkat yang banyak, kebahagiaan, dan yang terpenting sehat selalu untuk kita semua :*

Cheers,
RA