Cerita Kepada Waktu

Memilih hidup tanpa pasangan merupakan hal yang tidak mudah bagi sebagian orang. Banyak manusia bermulut usil baik dari lingkungan sosial sampai lingkup keluarga besar kerap kali melontarkan pertanyaan-pertanyaan bermotivasikan memenuhi ego rasa penasaran mereka saja, seperti;
“Kok sendiri aja, mana pacarnya?”,
“Ya ampun masih aja jalan sendirian, kalah sama bus aja punya gandengan, emang lo nggak ada niatan cari cowok?”, masih banyak lagi versi yang tidak perlu dijabarkan. Belum lagi rasa sepi kerap datang menghampiri dikala semua rekan-rekan sibuk dengan prioritas masing-masing. Memang tidak mudah menjadi single ketika hidup bermasyarakat.

Beberapa tahun lalu saya pernah berada di fase ketakutan hidup tanpa pasangan, muncul bayangan apabila pernikahan saya gagal atau pasangan saya dipanggil terlebih dahulu oleh sang Pencipta, apa yang harus saya lakukan? Membayangkan sendirian mengurus semua hal, menanggung secara finansial semua kewajiban rumah dan anak, tidak adanya sosok pelindung dan berkeluh kesah, membuat saya berpikir berulang kali untuk memilih apakah harus menjalani kehidupan seorang diri tanpa pasangan atau tetap bersama pasangan meskipun keadaan tidak kondusif (setiap harinya hanya membuat kami tidak bahagia dengan hidup berdampingan hanya untuk saling menyakiti kemudian anak menjadi korban sebagai saksi dari chaos suatu rumah tangga)

“Feminism…is not ‘women as victims’ but women refusing to be victims.” ― Gloria Steinem, The Trouble With Rich Women

“Tapi dia brengsek, buktinya pergi begitu saja dengan perempuan lain ninggalin istri dan anaknya?”, ucap seorang wanita sambil meneteskan air mata, kemudian bibirnya kembali melanjutkan cerita jelek mengenai suaminya sambil tak lupa menyelipkan bermacam umpatan-umpatan kasar dan sumpah serapah.

Pertanyaan saya simpel sekali, dulu pas pacaran sampai menikah bagaimana? Bagaimana awal mula ini semua sampai akhirnya bisa ditinggalkan kalau dulu dia bahkan ngajak kamu menikah? Apa selama ini kamu sudah memperlakukan dia dengan baik dan menghormati dia?

Banyak orang selalu lebih dahulu sibuk menyalahkan orang lain atau pihak ketiga dari setiap kegagalan dalam suatu hubungan pacaran ataupun rumah tangga ketika pasangannya pergi dan memilih hidup berbeda atau bahkan memilih hidup bersama orang lain. Pihak yang ditinggalkan selalu bertingkah play a victim di depan semua orang, narasi yang dibangun istri/suaminya brengsek karena lebih memilih orang lain daripada dia dan anak mereka, atau memilih kabur dan melepas tanggung jawabnya daripada hidup satu atap dengan dia dan anak mereka. Tapi apakah pernah satu kali saja mereka introspeksi, apakah diri mereka sudah baik dan benar memperlakukan pasangannya?

Play a victim menjadi cara menutupi kekurangan serta malu atas kegagalannya dengan bertindak sebagai sosok si lemah yang tertindas, sembari berparodi membawa anak yang tanpa dosa dijadikan objek belas kasihan agar publik menjadi terbawa drama cerita karangan sepihaknya, mencari pembenaran atas asumsinya tanpa cerita latar belakang terlebih dahulu, semua hal jelek diumbar seperti lupa bahwa ia pernah hidup dari uang hasil jerih payah pasangannya, dan herannya lingkungan sosial senang sekali mengonsumsi topik ini tanpa memfilter dan berpikir dengan logika bahwa ini baru cerita dari 1 pihak sedangkan rumah tangga itu 2 orang, jadi seharusnya kegagalan pasti ada andil dari keduanya.

Ya, tanpa disadari lakon play a victim di depan umum itu sebenarnya sedang membuka bobrok dan lemahnya mental diri sendiri. Tanpa disadari ia sedang membongkar selama ini tidak pernah mau introspeksi sehingga value dalam dirinya tidak ada peningkatan. Namun apalah arti value ketika ego sudah mengendalikan semua akal sehat?

Bagi orang yang gemar play a victim, biasanya pasangan atau seseorang bagi mereka adalah hak milik. Ketika merasa memiliki seseorang maka mempunyai kontrol terhadap manusia lain hanya karena mempunyai selembar surat pernikahan yang sah dimata negara, kemudian anak dijadikan senjata untuk mengikat bahkan memeras seseorang (ini sungguh kejam namun banyak yang memakai anak sebagai alat meminta uang), waktunya kemudian disia-siakan hanya untuk membangun drama dan menyebarkan kebenciannya supaya orang-orang jadi tahu masalah rumah tangganya, sibuk menyalahkan orang lain serta hidup, tanpa mau berkaca mengapa ia bahkan tidak dapat mempertahankan ini semua?

Kenarsisan membuat seseorang tidak sadar bahwa akar masalah ini ada pada dirinya. Seseorang yang narsis selalu merasa sudah melakukan yang terbaik bagi pasangan atau orang lain tanpa pernah mau intropeksi dan jujur ke diri sendiri apa iya dia sudah melakukan yang terbaik? Atau sekedar mencoba berdiri di kaki orang lain agar mengerti bagaimana rasanya di posisi orang itu pun belum tentu mau dia lakukan. Mereka hanya fokus kepada dirinya yang (mereka pikir) paling berusaha di hubungan ini.

Hal ini sebetulnya banyak terjadi di berbagai kasus bukan hanya dalam suatu hubungan percintaan tapi juga dalam pertemanan, keluarga, bisnis, bermasyarakat. Terus mengakar sampai akhirnya jiwa supportive tergerus dengan jiwa competitive akibat ego diri sendiri yang butuh pengakuan berasaskan dengki dan iri hati yang tidak ingin kalah dengan orang lain tanpa peduli bagaimana proses perjuangan seseorang mencapai impiannya

Jiwa supportive hanya dimiliki oleh orang-orang dengan mental kuat dan ingin maju.

Dimulai dengan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri, masa lalu, setiap fase dalam hidup yang sudah dilewati, mengakui apa kekurangan/kelemahan diri, sampai akhirnya menghadapi diri sendiri untuk melawan semua ketakutan dalam diri. Tidak mudah memang, saya butuh bertahun-tahun sampai akhirnya berdamai dengan semua hal kepahitan. Berdamai dengan masa lalu membuat saya sadar bahwa selama ini saya lah yang menghambat karir saya, personal life, sampai eksplorasi diri. Seketika saja saya mengalami akselerasi dalam hidup tanpa saya duga. Saya tidak lagi malu atau takut berbicara apa adanya mengenai diri saya dan apa yang saya pernah alami sesimpel; saya ingin orang lain dapat belajar dari pengalaman saya agar percaya bahwa teruslah bermimpi yang tinggi meskipun sepahit apapun hidup yang kita alami karena mimpi itu gratis dan jangan pernah iri dengan hidup orang lain karena rejeki itu sudah ada yang atur serta siap atau tidaknya diri kita menerima itu semua.

Suportif bukan hanya dalam pertandingan atau pun terhadap orang lain, kita juga harus suportif terhadap diri kita sendiri. Ketika diri sendiri yang menghambat kesuksesan diri sendiri maka bertanyalah ke diri sendiri “apakah diri kita sendiri yang menghambat ini semua?”, karena kita hanya bisa mengontrol diri kita sendiri jadi diri kita lah yang dapat merubah nasib kita sendiri. Jangan takut mengakui kesalahan ataupun kekalahan karena kalau kita tidak pernah salah atau kalah maka kita tidak akan pernah belajar.

Sudahkah kamu introspeksi hari ini?

Cheers,
RA