Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada

Apakah kita semua benar-benar tulus
Menyembah pada-Nya?
Atau mungkin kita hanya
Takut pada neraka
Dan inginkan surga?

Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau bersujud kepada-Nya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut nama-Nya?

……………………….

Mungkin banyak yang sudah mendengarkan lagu diatas. Lagu ini pernah dibawakan oleh alm. Chrisye dan Ahmad Dhani, cukup populer di tahunnya lagu ini rilis. Lagu ini membuat perenungan di benak saya saat ini, bagaimana jika hidup ini tidak pernah ada surga dan neraka? Apakah manusia akan lebih jadi lebih jujur tanpa takut dicap pendosa dan bersalah sehingga neraka tempat untuk para pendosa? Atau malah sebaliknya, semua manusia hidup dalam kejujuran karena tidak lagi takut akan dosa?

Banyak orang memilih berlindung dengan kedok agama ketika melakukan suatu tindakan tidak terpuji agar oleh lingkungan keluarga dan sekitarnya dinilai baik, harmonis, atau bahkan terhormat karena agamis. Banyak orang pun memilih berkedok dengan tampilan agamis namun kelakuannya bahkan tidak lebih baik dari seorang pendosa demi mendapatkan keuntungan untuk memperkaya ego dan kehidupan pribadinya. 

Lalu dimana kah landasan surga dan neraka ketika parameternya hanya dari nilai pandangan sebuah gengsi di mata manusia lainnya?

Lantas apakah seseorang yang menjalani quantity ibadahnya lebih banyak dan menggunakan pakaian sesuai anjuran agamanya boleh menilai bahkan menghakimi seseorang yang tidak sama dengannya?

Saya bisa dinilai oleh seseorang besar tanpa didikan agamis hanya karena saya tidak menggunakan hijab, apakah adil menilai saya tidak agamis hanya karena saya memilih tidak mengumbar urusan ibadah saya ke ranah publik?

Seorang anak yang tidak berani memberi tahu ibunya betapa iya sangat ketakutan ketika ibunya sudah marah yang menyebabkan ia trauma sampai besar tanpa disadarinya karena sudah ada doktrinisasi “kalau melawan ibu sama dengan durhaka”, sedangkan cara ibunya memarahi pun sudah keluar dari batasan yang agama anjurkan karena menghina dan menyakiti fisik sang anak, apakah kemudian boleh hal ini dibenarkan sebagai cara mendidik sesuai dengan ajaran agamanya?

Apakah si anak akan jadi berani lebih jujur ke dirinya dan ibunya bahwa ia sangat ketakutan dan menyisakan luka yang dalam di hatinya jika surga dan neraka tak pernah ada?

Dan hari ini puncak kemarahan saya ketika melihat berita di media online mengenai pencabulan oleh seorang pimpinan pondok pesantrennya terhadap 6 orang santriwatinya. Ini biadab, bayangkan seorang lelaki memerkosa anak dibawah umur dengan doktrin menyimpang bahwa ini sesuai anjuran agama sehingga para korban ketakutan untuk melawan hanya karena laki-laki biadab ini sosok yang mereka diajarkannya harus dipatuhi dan hormati.

Sebagai seorang Ibu, saat membaca berita ini saya amat sangat marah dan dalam benak saya bertanya, lalu ketika pimpinan pondok pesantren bahkan menjadikan agama sebagai senjata untuk merusak masa depan seorang anak perempuan lantas dimana andil masyarakat disana dalam mengawasi dan para orang tua murid ini? Apa karena hanya tampilannya pondok pesantren lalu mereka main menyerahkan anak-anaknya dengan alasan menuntut ilmu?. Atau, apakah boleh seorang anak didalam sebuah rumah menerima penyiksaan fisik maupun verbal oleh ibunya? Hanya karena itu yang melakukan ibunya yang melahirkannya dan secara agama wajib mereka hormati dan berbakti dengan tidak boleh melawan dengan alasan ibunya sedang mendidik anak-anaknya. Apa tidak bisa mendadak dengan cara yang baik?

Ahhh sudahlah, berbagai perspective akan menjawab dengan pembenaran mereka sendiri hanya karena tidak berani mengakui kelalaian dan kesalahannya.

Ya, saya mengerti sekali setiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam membesarkan anak-anaknya. Tapi apapun caranya buat saya doktrinisasi tanpa objektivitas tidak akan pernah membuat seorang anak siap menghadapi realita kehidupan. Sedangkan idealnya orang tua harus mempersiapkan seorang anak siap menghadapi dunia luar yang luas bagaikan hutan belantara dengan beragam pengalamannya dan bermacam-macam karakter manusia didalamnya,

Sampai pada akhirnya, bagaimana cara setiap orang mencari surga dan nerakanya bermacam-macam, ada yang memilih dengan cara agamis, ada yang berlandaskan humanisme. Menurut saya, kita semua mempunyai kebebasan penuh dalam memilih cara hidup yang cocok dengan masing-masing individu selama tidak merugikan siapapun.

Wayne Dyer famously wrote, “When given the choice between being right and being kind, choose kind.” We all struggle with the insecurities of our egos, with the insecurity of being wrong. And a threatened ego will almost always lash out.

Cheers,
RA