Kamu

Tanggal 20 September 2020 pukul 6.30, pagi itu menjadi perjalanan bisnis ke dua kalinya bagi saya ke pulau di seberang pulau Jawa. Salah satu tugas di pekerjaan saya adalah mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah saya kunjungin. Hal yang tidak pernah saya bayangkan 9 tahun lalu.

Di dalam pesawat menuju pulau Kalimantan, entah di ketinggian berapa kaki diatas laut membuat saya teringat perbincangan hangat penuh kasih 2 tahun lalu antara saya dengan kamu.

Kamu, yang paling bisa membuat saya merasa tertantang tanpa perlu menantang.

“Tahun depan, kamu harus bisa punya uang hasil keuntungan diangka milyar ya!”, ucapnya sambil tersenyum lebar ketika saya menceritakan hasil perkenalan saya pertama kali di meeting hari ini.

“Aku nulis billing nilainya puluhan juta aja deg-deg-an banget, ratusan juta ga pede, apalagi milyaran? Ngebayangin nulis buat diri aku sendiri ga berani…”, ucapku polos dengan nada pelan.

“Pasti bisa kalau kamu mah”, sambutnya, kemudian dengan nada meledek ia melanjutkan kembali ucapannya, “dulu aja aku pernah bilang kan depan anak-anak, tim yang terakhir tersisa ini gue yakin orang-orang terbaik karena punya trust dan sense of belonging yang tinggi. Dan diantara tim terbaik ini gue yakin Lia yang akan paling jadi! Gila, from nothing men… hahahaha”, ia tertawa keras sekali. Saya tau kamu tidak sedang meledek saya, ada rasa bangga terpancar di mata kamu yang selalu bisa membuat saya lebih percaya diri kembali beberapa tahun ini ketika habis berkeluh kesah mengenai pekerjaan dengan kamu.

Tidak berapa lama setelahnya keadaan saya dan kamu berubah menjadi 2 kutub yang tidak lagi saling melekat. Masing-masing menjalani prosesnya sendiri, tanpa ada lagi support sistem mutualisme satu sama lain. Di bulan ke 4 tanpanya, saya berhasil menulis surat penawaran dengan angka penagihan milyaran! Tanpa disadari perkataan kamu terpatri di pikiran, hati, dan alam bawah sadar saya sehingga ikutan menarik alam semesta ini untuk bekerja sama memunculkan rasa keberanian didalam diri saya untuk akhirnya bisa merealisasikan tantangan kamu. Terima kasih sudah mau percaya ke diri saya yang saya sendiri saja (pada saat itu) masih belum percaya kalau diri saya mempunyai kemampuannya.

Kamu, yang selalu memuji ketika saya memilih merugi.

Integritas dan value adalah modal utama saya sejak dari awal bekerja sampai akhirnya masuk ke dunia bisnis saat ini. Bagi saya yang hanya bermodalkan tekad, keyakinan, dan motivasi yang benar sangat percaya bahwa integritas dan value amat lah penting untuk menjadi bagian dari identitas diri ketika menjalani kehidupan sehari-hari guna mendapatkan akselarasi diri dalam hidup. Secara teori terlihat mudah namun tidak ketika praktek di dunia nyata. Keserakahan menjadi asal muasal manusia digelapkan hatinya untuk kemudian melakukan berbagai cara mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dengan minimal bekerja.

Namun lagi lagi kamu memberikan saya keyakinan bahwa value dan integritas diri saya yang nantinya akan membawa semua hasilnya secara nyata. Dan pelan-pelan namun pasti saya dapat melihat dan merasakan semua yang kamu ajarkan sejak dari hampir 9 tahun lalu.

Kamu, yang selalu percaya bahkan ketika saya tak berdaya.

Di tahun 2012 ketika bekerja pada suatu perusahaan yang bahkan saya sendiri tidak tahu apakah industri ini cocok atau tidak dengan saya (?) namun kamu selalu meyakinkan bahwa segala hal bisa dipelajari.

Kamu selalu bilang, “bisa engga bisa cuman soal waktu!”.

Beberapa tahun kemudian, saya menambahkan, “Bukan hanya waktu, tapi juga harus ada kemauan. Karena aku mau maju makanya aku mau belajar”. Dan kamu mengamini sembari tersenyum.

Kamu, yang memilih egois sehingga tidak realistis.

Rasa tidak pernah cukup dan ketidakbahagiaan membuatmu butuh sekali validasi tanpa pernah mau memikirkan perasaan orang lain. Ego yang besar membuatmu menjadi egois tanpa pernah berpikir bahwa ada orang orang yang peduli namun tidak kamu diindahkan.

Apa yang sebetulnya kamu cari? Pengakuan dari dia yang pernah mengecilkan dan menolak kamu? Tahukah kamu kalau dia tidak tulus kepadamu?

Ah sudahlah, ketika rasa amarahmu lebih penting daripada masa depanmu. Sungguh sangat sayang sekali waktu menjadi sia-sia terbuang serta kemunduran mentalitas hanya karena ego dan emosi.

Kamu yang tersayang, namun memilih pergi untuk dikenang.

Aku terima dan sadar bahwa takdir aku dan kamu mungkin hanya sampai kemarin. Terima kasih untuk semua pembelajaran yang sudah pernah kamu ajarkan, terima kasih kamu pernah hadir dalam hidupku. Aku berdoa dimanapun kamu berada, kamu akan selalu bahagia dan dalam lindungan Tuhan.

Cheers,
RA